Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendapat Ibn Taimiyyah tentang Qasr Shalat dan Berbuka Puasa bagi Musafir

Para ulama telah sepakat (ijma') tentang kebolehan mengqashr shalat dan kebolehan tidak berpuasa pada bulan ramadhan bagi musafir atau orang yang melakukan perjalanan (safar). Namun para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan hukum dan batas (jarak) kebolehan qasr shalat dan berbuka puasa tersebut.

Baca: Tata Cara Shalat Jamak dan Qashar

Sebagian dari mereka, seperti Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya disamping mazhab ahli zahir berpendapat bahwa hukum mengerjakan qasr* shalat ketika berpergian (safar) adalah wajib atau fardu.

*Qasr adalah meringkas (memendekkan) shalat yang tadinya empat rakaat menjadi dua rakaat. Yang boleh diringkas (qasr) hanya shalat yang berjumlah empat rakaat.

musafir
Berbeda dengan pendapat pertama, yakni pendapat Imam Hanafi tadi, pendapat yang kedua yang dipegang oleh Imam Malik (menurut riwayat yang masyhur) dan Imam Ahmad bin Hanbal (menurut sebagian riwayat) berpendapat bahwa mengqasr shalat ketika safar adalah sunnah dan makruh apabila ditinggalkan.

Sedangkan pendapat ketiga, yakni pendapat sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah bahkan Imam Ahmad sendiri menurut satu riwayat berpendapat bahwa mengqasr shalat atau mengitmamkannya (menyempurnakan bilangan rakaat) merupakan dua kewajiban yang dapat dipilih salah satunya oleh musafir.

Adapun pendapat keempat, yakni pendapat Imam asy-Syafi'i (setidaknya menurut pendapat yang masyhur) hukum melakukan qasr shalat bagi musafir semata-mata hanya rukhsah atau keringanan (dispensasi) dan karenanya tidak mesti dilaksanakan.

Dengan demikian, menurut pendapat ini, menyempurnakan (itmam) shalat pada waktu safar tetap lebih afdhal daripada mengqasr nya meskipun tidak berarti tidak boleh mengerjakannya.

Terhadap keempat pendapat di atas, Ibnu Taimiyyah mengemukakan komentarnya.

Pendapat keempat menurut Ibn Taimiyyah jelas salah tanpa ragu, sedangkan pendapat ketiga menurut beliau adalah lemah.

Kedua pendapat ini menurt Ibn Taimiyyah adalah menyalahi sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam yang selalu mengqasr shalat ketika beliau bepergian.

Ibn Taimiyyah tampaknya lebih memilih pendapat kedua yang memakruhkan meninggalkan qasr shalat dalam bepergian dan beliau tidak secara tegas menolak pendapat pertama yang mengatakan bahwa qasr shalat ketika safar adalah wajib.

Dalam menilai pendapat pertama, Ibn Taimiyyah mengatakan memang banyak Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam yang mengingkari perbuatan mengitmamkan shalat yang dilakukan oleh sahabat lain ketika safar, namun, pengingkaran ini bukan pengingkaran terhadap perbuatan yang dilarang (diharamkan), melainkan hanya pengingkaran dari perbuatan yang tidak disenangi (makruh).

Untuk memperkuat pilihan atau pendapatnya itu, sekaligus sebagai penolakan ketiga pendapat lainnya terutama pendapat ketiga dan keempat, Ibn Taimiyyah mengemukakan argumen, di antaranya :

1. Setiap bepergian yang jumlahnya hampir 30 kali, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tidak pernah mengitmamkan shalatnya, tidak terkecuali dalam perjalanan haji wada' yang merupakan safar terkhir beliau.

2. Hadits yang diriwayatkan ad-Dar Qutni dari 'Aisyah. ra, yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam terkadang melakukan qasr dan terkadang itmam, terkadang iftar (berbuka), terkadang melangsungkan puasanya ketika bepergian, oleh Ibn Taimiyyah dinyatakan da'if jiddan yang berkenaan dengan itmam walaupun shahih yang berhubungan dengan iftar karena menyalahi riwayat lain yang lebih shahih.

3. 'Aisyah. ra sendiri pernah menyatakan bahwa pada mulanya shalat fardu itu diwajibkan dua rakaat, kemudian yang dua itu ditetapkan untuk shalat ketika bepergian dan sempurna empat rakaat untuk shalat ketika mukim (tidak berpergian).

4. Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah memberikan keringanan kepada musafir dari keharusan berpuasa dan separuh shalat.

5. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam melakukan haji wada', beliau selalu mengqasr shalatnya baik sewaktu bermukim di mekah maupun ketika di Mina.

Bahkan jauh sebelum itu Nabi telah pula mengqasr shalatnya di Mekah selama 19 hari, yaitu ketika berperang dalam rangka membebaskan kota mekah (fath Makkah), dan pernah juga meng-qasr shalat selama 20 hari pada waktu peperangan tabuk.

Berdasarkan lima argumen di atas yang mengandung pengertian bahwa setiap perjalanan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam itu bermacam-macam jaraknya, menjadi salah satu alasan Ibn Taimiyyah untuk tidak memberikan ketentuan pasti tentang batasan minimal jarak jauh (musafir) dan batasan waktu maksimal yang membolehkan qasr shalat bagi musafir.

Menurut Ibnu Taimiyyah, boleh mengqasr shalat pada setiap bepergian yang dinamai safar, apakah itu perjalanan itu dekat ataupun jauh. Ia juga menambahkan bahwa tidak perlu memberikan ketentuan secara pasti tentang ketentuan jarak dibolehkannya mengqasr shalat dalam berpergian, karena Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, sendiri tidak pernah menetapkannya.

Namun Ibn Taimiyyah juga mengingatkan tentang pentingnya batasan bepergian yang menurut adat kebiasaan dianggap sebagai safar, seperti perlu membawa perbekalan dan keluar daerah yang cukup jauh.

Adapun bila bepergian itu tidak perlu membawa perbekalan karena jaraknya relatif dekat, seperti dari satu kampung ke kampung lain yang masih satu kecamatan, maka itu tidak dapat dikatakan musafir dan karenanya tidak dibenarkan untuk mengqasr (meringkas) shalat.

Sama halnya dengan qasr shalat, Ibn Taimiyyah juga tidak membenarkan penentuan batas minimal kebolehan iftar (berbuka puasa) bagi musafir.**

**Di kalangan ahli fiqh terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum melakukan iftar bagi musafir. Sebagian shahabat seperti Ibn 'Abbas dan Ibn 'Umar. ra berpendapat bahwa melakukan iftar puasa di waktu safar hukumnya wajib.

Adapun menurut kebanyakan ahli fiqh yang lain, hukum melakukan iftar di waktu safar semata-mata hanya rukhsah, boleh dilakukan dan boleh tidak.

Pendapat Ibn Taimiyyah yang tidak membenarkan penentuan batas jarak dan waktu safar yang menyebabkan musafirnya boleh mengqasar shalat dan melakukan iftar, menyalahi pendapat jumhur fuqaha, namun sesuai (sama) dengan pendapat Dawud az-Zahiri yang dalam banyak masalah sering dikritik oleh Ibn Taimiyyah.

Kebanyakan ahli fiqh memberikan jarak tertentu tentang batas minimal masafah al-Qasr wal iftar meskipun mereka berbeda pendapat dalam menentukan jarak pasti, dan ini berbeda dengan mazhab ahli Zahir (Zahiriah) yang membolehkan setiap orang yang bepergian baik dekat maupun jauh untuk mengqasr shalat.

Menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya yang jumlahnya sangat banyak, qasr shalat dan iftar puasa ketika safar tidak boleh kecuali dalam perjalanan yang jaraknya minimal dua marhalah, yakni perjalanan yang memakan waktu dua hari atau sehari semalam, sekitar empat burud sama dengan 16 farsakh, sekitar 48 mil.

Sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa batas minimal boleh qasr shalat dan iftar puasa bagi musafir adalah tiga marhalah, yakni tiga hari atau sama dengan 24 farsakh.

Sebagian pendapat menyebutkan bahwa pendapat Ibn Taimiyyah yang tidak menentukan batas minimal masafah al-Qasr wal iftar bagi musafir lebih sesuai dengan lahiriah ayat yang mensyari'atkan shalat qasr dan iftar, yakni surah an-Nisa' : 101

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا
"dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu".

dan surah al-Baqarah : 184

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
.....Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.....

Secara tekstual, dua ayat ini memang bersifat mutlak, dalam pengertian shalat qasr dan iftar puasa dalam perjalanan/ berpergian itu tidak dibatasi oleh jarak dan waktu tertentu, sehingga berkenaan dengan hal ini, Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa "Sesuatu yang oleh Syar'i dimutlakkan penggunaannya, harus dimutlakkan pula penamaan dan realisasinya. Tidak boleh mengira-ngira dan membatasinya dengan waktu."

⇨ Baca juga Hukum Menukar Atau Menukar Harta Wakaf Menurut Ibnu Taimiyah

Atas dasar ini, menurut Ibn Taimiyyah, tidaklah tepat menentukan dan membatasi jarak waktu kebolehan melakukan qasr shalat dan kebolehan berbuka puasa bagi musafir.

Jarak berpergian yang relatif dekat pun, boleh disebut safar apabila memerlukan waktu yang lama, dan sebaliknya jarak perjalanan yang jauh tidak otomatis disebut safar jika hanya memerlukan waktu yang singkat.

Terhadap pendapat Imam Ibn Taimiyyah ini, sepertinya cocok dan relevan untuk dikaitkan dengan perkembangan dunia sekarang yang semakin maju dalam hal transfortasi.

Dengan demikian, memperhatikan peralatan (kendaraan) apa yang dipergunakan seseorang dalam perjalanannya disamping unsur musyaqqah (kesulitan) yang dialami atau dirasakan oleh masing-masing musafir yang kemampuan fisiknya satu dengan lain berbeda tampaknya memang lebih penting dari pada hanya sekedar memperhatikan soal jarak dekat atau jauhnya perjalanan (bepergian).

Wallahu a'lam.

Sumber :
-Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA : Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Fiqh Islam. Lihat biografi beliau DI SINI

2 komentar untuk "Pendapat Ibn Taimiyyah tentang Qasr Shalat dan Berbuka Puasa bagi Musafir"

  1. Balasan
    1. Iya mas, sebenarnya kebolehan untuk tidak berpuasa pada bulan ramadhan bagi musafir memang sudah ada dalam syari'at Islam, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jarak dan waktu tentang kebolehannya

      Hapus

Saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan artikel di atas.