Hukum Menukar atau Menjual Harta Wakaf Menurut Ibn Taimiyyah
Hadits nya sebagai berikut :
Dari Ibnu 'Umar. ra, ia berkata :
'Umar berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendapatkan (sebidang) tanah di Khaibar yang selama ini belum pernah aku punyai tanah itu..."
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jika kamu mau, tahanlah (wakafkanlah) tanah itu dan bersedekahlah dengan hasilnya".
Ibnu 'Umar berkata : "kemudian 'Umar mewakafkan hartanya itu dengan pengertian tanahnya itu sendiri tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh pula dihibahkan".
'Umar menyedekahkan hasil hartanya itu kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk jalan Allah, orang-orang yang terlantar dan para tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (nazir) untuk memakan sebagian harta itu (asalkan) dengan cara yang wajar dan memakannya dengan cara yang benar tanpa ada maksud mencari kekayaan.
Dalam riwayat Bukhari : 'Umar mewakafkan tanahnya, tanah tersebut tidak dijual dan tidak pula dihibahkan, akan tetapi dinafkahkan buahnya (hasilnya).
Hadits di atas jelas mengisyaratkan tentang pentingnya pengelolaan benda-benda wakaf sedemikian rupa sehingga mendatangkan manfaat atau hasil yang maksimal.
Itulah sebabnya mengapa sebagian ulama, diantaranya Ibn Taimiyyah memberikan kelonggaran untuk menukar atau menjual harta wakaf jika tindakan demikian memang dipandang lebih maslahat.
Namun, dikalangan para ulama Islam terdapat perbedaan pendapat tentang hukum menjual menjual harta wakaf karena lahiriah hadits di atas melarang penjualan benda-benda wakaf.
Khusus mengenai benda wakaf yang berbentuk masjid, para ulama (selain ulama Hanabilah) telah sepakat untuk tidak membolehkan menjual masjid dan mentasarrufkan (membelanjakan) hasil penjualannya dengan alasan apapun walau masjid itu rusak sekalipun.
Sedangkan pendapat para ulama dari kalangan mazhab Hambali (termasuk Ibn Taimiyyah didalamnya), masjid itu boleh dijual jika tindakan demikian benar-benar dibutuhkan seperti karena tidak mungkin lagi dapat dimanfaatkan, karena terlalu sempit sehingga tidak mampu lagi menampung jama'ah padahal untuk memperluasnya karena satu dan lain hal tidak memungkinkan lagi.
Demikian pula jika penduduk sebuah kampung berpindah tempat dan meninggalkan masjid yang telah mereka bangun padahal di tempat pemukiman mereka yang baru mereka tidak mampu membangun masjid baru.
Adapun mengenai hukum menjual benda-benda wakaf yang selain masjid, para ulama selain dari mazhab Hambali pun pada dasarnya memandang boleh jika keadaan memang benar-benar menghendakinya. Hanya saja di antara mereka ada yang menetapkan batasan dan syarat-syarat yang cukup ketat.
Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan menjual harta wakaf (selain masjid) dengan syarat-syarat tertentu, ini berbeda dengan pendapat para ulama dari kalangan mazhab Syafi'i yang pada prinsifnya melarang menjual atau menukar benda-benda wakaf.
Menurut mazhab Maliki, harta wakaf boleh dijual hanya dalam tiga hal, yaitu :
1). Jika sewaktu akad wakaf berlangsung, orang yang mewakafkan (waqif) benda itu memang mensyaratkan boleh dijual.
2). Benda yang diwakafkan (mauquf) berupa benda bergerak dan kondisinya benar-benar sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan semula dari pemberian wakaf itu sendiri.
3). Benda wakaf yang tidak bergerak, boleh ditukar atau dijual jika kepentingan umum benar-benar memerlukan benda wakaf tersebut, seperti untuk perluasan masjid, pelebaran jalan atau tempat pemakaman.
Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi sedikit lebih longgar dari pada ulama mazhab Maliki dalam menetapkan beberapa ketentun yang membolehkan seseorang/ lembaga untuk menukar atau menjual benda-benda wakaf selain masjid, baik yang bergerak maupun tidak bergerak.
Mazhab ini (Hanafi) mensyaratkan :
1). Kalau waqifnya mensyaratkan boleh ditukar atau dijual ketika dia mewakafkan benda tersebut.
2). Apabila benda wakaf yang hendak ditukar atau dijual itu memang sudah tidak berguna untuk dipertahankan.
3). Jika manfaat atau hasil dari pengganti benda wakaf yang ditukar atau dijual itu memang lebih besar atau lebih banyak.
4). Apabila si waqif tidak mensyaratkan dilarang menjual sewaktu dia mewakafkan harta wakaf tersebut.
Lebih longgar dari pendapat ulama mazhab hanafi, Imam Ibnu Taimiyyah dan umumnya ulama mazhab Hambali membolehkan menukar atau menjual masjid dalam kondisi darurat, membolehkan atau bahkan menganjurkan menjual benda wakaf atau menukarnya jika kebijaksanaan demikian dipandang lebih baik dan lebih maslahat.
Menurut Ibn Taimiyyah, penukaran harta wakaf dengan sesuatu yang lebih baik dilakukan karena dua alasan, yaitu :
1). Karena diperlukan (hajat), seperti mewakafkan seekor kuda untuk tentara yang sedang berjihad di jalan Allah, kemudian kuda tersebut tidak dibutuhkan lagi ketika peperangan selesai.
Dalam keadaan yang demikian, menurut Ibnu Taimiyyah, kuda tersebut boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan harta wakaf lain yang lebih bermanfaat.
2). Karena untuk kemaslahatan yang lebih besar, seperti, menjual masjid berikut tanahnya yang sudah kurang berguna kemudian mebeli tanah lain dan di atasnya dibangun masjid yang baru yang lebih luas, lebih bagus dan lebih strategis jika dibandingkan dengan tempat dan mesjid yang lama.
Penukaran yang demikian pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. ra., ketika beliau memindahkan masjid Kufah dari tempat yang lama ke tempat yang baru.
Atas dasar ini, menurut Ibn Taimiyyah, menjual benda wakaf (termasuk di dalamnya masjid) yang sudah tidak bermanfaat lagi, hukumnya adalah boleh.
Menukarkan benda wakaf atau menggantinya dengan harta/ benda wakaf yang sepadan apalagi bila lebih, hukumnya wajib dalam kondisi yang benar-benar dibutuhkan dan dalam keadaan yang tidak dibutuhkan pun tetap boleh jika penggantinya ternyata lebih baik dan lebih bernilai guna.
Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam menentukan hukum boleh tidaknya menukar atau menjual benda wakaf, disamping karena untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau penyia-nyiaan harta wakaf itu sendiri dan mempertahankan tujuan hakiki dari pensyari'atannya.
Juga tampaknya Ibn Taimiyyah lebih bersandar pada asas manfaat dan maslahat maksimal dalam upaya mendayagunakan wakaf seperti tersirat dalam hadits riwayat Ibn Umar yang telah dikutip di awal artikel ini.
Pensyaratan yang ditetapkan oleh orang yang berwakaf (waqif), seperti melarang untuk menukar atau menjual benda wakaf tersebut, menurut pandangan Ibn Taimiyyah boleh dikesampingkan karena menurut penilaian beliau, tujuan sejenis (yakni mendekatkan diri kepada Allah melalui harta yang diwakafkan) bagi orang yang berwakaf tetap terdapat dalam wakaf yang baru sebagai hasil dari penukaran atau penjualan benda wakaf yang lama.
Kecuali itu, Ibn Taimiyyah juga membenarkan mengubah persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh waqif karena perubahan situasi dan kondisi selama perubahan syarat yang ditetapkan waqif itu untuk tujuan yang lebih maslahat/ bermanfaat.
Berdasarkan uraian diatas, sepertinya pendapat Ibn Taimiyyah ini patut untuk dipertimbangkan dalam kodisi sekarang.
Dapat saya contohkan, jika masjid lama, atapnya berupa genteng yang diwakafkan oleh seseorang, lalu seiring perjalanan waktu, genteng itu sudah banyak yang pecah sementara untuk mengganti dengan genteng serupa sudah tidak ditemukan lagi, lalu pengurus masjid berniat untuk mengganti atap masjid dengan seng atau sejenisnya.
Nah daripada genteng itu rusak tidak terpakai, lebih baik dijual jika ada yang berminat dan uang hasil penjualan genteng itu dipergunakan untuk membelikan lagi atap masjid, seperti seng atau sejenisnya.
Wallahu a'lam
*Sumber :
- Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA : Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Fiqh Islam... ⇨ Lihat Biografi beliau⇛ Di Sini
Posting Komentar untuk "Hukum Menukar atau Menjual Harta Wakaf Menurut Ibn Taimiyyah"
Saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan artikel di atas.