Khutbah Idul Fitri Tahun 1436 H
Hadirin wal Hadirat yang berbahagia
Mari bersama kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, tuhan langit dan bumi yang terus memberikan rahmat-Nya untuk kita semua. Di hari ini, Allah masih memberikan kepada kita kesempatan untuk menghirup nafas sehingga kita dapat bertemu dengan hari yang sangat berbahagia ini, yaitu hari kemenangan dan hari keberhasilan kita memperoleh prediket taqwa yang membuat kita mulia di sisi Allah SWT.
Hadirin wal Hadirat yang berbahagia.
Hari ini merupakan hari kebahagiaan dan hari kesedihan. Hari kebahagiaan karena kita telah berhasil melaksanakan apa yang Allah perintahkan, yaitu berpuasa dengan menjaga dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa dan pahala puasa itu sendiri.
Hari kesedihan, karena bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berlalunya bulan ramadhan berarti berlalunya waktu-waktu yang utama dan kesempatan yang sangat baik untuk meningkatkan amal ibadah kepada Allah Swt. tidak ada jaminan sedikitpun untuk kita semua bahwa kita akan berjumpa lagi dengan ramadhon tahun depan, sebab bisa jadi, bulan romadhon tahun ini merupakan romadhon terakhir untuk kita.
Sebagai orang mukmin, kita tentu memahami bahwa segala kenikmatan yang kita rasakan pada hari ini tidak begitu saja terjadi. Allah SWT jualah yang menghendaki hadirnya rasa bahagia di hati ini, Allah yang telah memberikan kita kelapangan dada seingga kita menjadi mudah memaafkan kesalahan orang, Allah lah yang menghendaki hati kita melupakan dendam-dendam dimasa lalu karena hati kita tersakiti oleh orang lain, Allah pula yang menghadirkan rasa haru di hati kita tatkala kita membayangkan wajah orang-orang yang kita cintai, pada hari ini tidak lagi bersama.
Hanya doa yang dapat kita panjatkan sebagai penghapus kerinduan untuk mereka yang dulu pernah kita kecup tangannya yang keriput, orang yang dulu pernah kita peluk erat tubuhnya yang tua renta. Kini tiada lagi kebersamaan itu, orang-orang yang kita kasihi itu kini telah terkulai di bawah seonggok tanah berbatu nisan, yang makamnya belum tentu dapat kita ziarahi setiap heri. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka.
Ibadah Ramadhan telah kita sempurnakan, mulai dari puasa, shalat tarawih dan witir, membaca al-Qur’an, membayar zakat fitrah dan zakat harta, I’tikaf, berdzikir, dan mengeluarkan shodaqoh, hingga hari ini kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul fitri. Semuanya itu kita jalani sebagai bentuk pembuktian keimanan kita kepada Allah.
Hadirin wal Hadirat yang berbahagia
Marilah kita merenungkan sejenak kemenangan kita pada hari ini sebagai hasil perjuangan kita yang dianugerahkan Allah SWT melalui Ramadhan-Nya yang insya Allah sanggup kita pertahankan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai ciri dari ketaqwaan kita kepada Allah Swt. Pada hari ini, kita kembali kepada fitrah sebagaimana bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.p> Kembali kepada fitrah berarti kembali kepada tuntunan aqidah yang lurus dan syari’at Islam yang murni dalam setiap sisi kehidupan. Dengan itulah manusia akan selamat dari segala macam bentuk kerusakan dan akan menikmati kehidupan yang dipenuhi kebaikan, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan dari Allah Swt.
Namun sebaliknya, orang yang hidupnya keluar dari rel syari’at dan akidah yang lurus, berarti ia telah keluar dari fitrahnya sebagai manusia, sehingga hidupnya terus bergelimang dosa dan maksiat, jauh dari Allah bahkan menjadi biang kerusakan ditengah masyarakat.
Contoh yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an untuk orang-orang yang lari dari fitrah adalah seperti Fir’aun, Qarun, Haman dan Namrud. Sebab, fitrah itu merupakan ciri kemanuasiaan manusia, jika fitrah itu dibuang, baik sebagian maupun keseluruhan, sama saja dengan membuang ciri-ciri kemanusiaan sehingga manusia akan tercerabut dari sifat kemanusiaannya.
Ketika manusia tidak mempergunakan penglihatan, pendengaran, hati dan akalnya dengan benar, Allah menilai manusia yang demikian lebih sesat dan rendah dari pada binatang. Binatang tidak pernah memikirkan apakah sesuatu itu baik atau buruk, dosa atau pahala. Ia makan apa saja tanpa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Ia berbuat apa saja tanpa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allah berfirman :
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang Allah. SWT anugerahkan untuk mendidik jiwa-jiwa yang telah menjauhi-Nya agar kembali kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang penuh dosa agar datang dan mohon ampun kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang lalai dalam ibadahnya agar bersimpuh, bersujud dan mengikhlaskan pengabdiannya.
Melalui Idul fitri, marilah kita kuatkan keimanan, yang dengannya fitrah kita akan senantiasa terjaga dan lurus, sehingga kita tidak akan menghinakan diri kepada selain Allah. Dengan Iman yang kuat, orang-orang kaya akan terjaga fitrahnya sehingga tidak bersikap sombong dan angkuh, sebab telah dididik oleh ibadah puasa dan mengeluarkan zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah.
Zakat yang kita keluarkan itu selain sebagai wujud rasa syukur kepada Allah, juga akan memupuk rasa cinta kepada sesama kaum muslimin dan menumbuhkan rasa saling peduli akan kesusahan orang lain. Dan dengan kekuatan iman pula orang miskin akan tabah dalam menjalani cobaan hidupnya dan tidak putus asa dari rahmat Allah.
Hadirin wal Hadirat yang berbahagia
Salah satu bentuk pembuktian/ kesungguhan kembali kepada fitrah bagi seorang muslim adalah dengan membuktikan kesungguhan ibadahnya, yakni beribadah dengan istikomah/ terus menerus dan bukan ibadah musiman. Namun yang terjadi adalah, terkadang ibadah puasa yang kita lakukan itu tidak mengantarkan kita ke titik fitrah? Mengapa? Di manakah letak salahnya? Jawabanya tentu pada manusianya. Sebab ternyata masih banyak orang yang memasuki Ramadhan tidak maksimal menjalankan ibadah-ibadah yang Allah dan rasul-Nya ajarkan.
Banyak orang masuk Ramadhan sekedar dengan semangat ritual saja, sementara hakikat keilmuan yang harus dijadikan bekal selama Ramadhan diabaikan. Banyak orang masuk Ramadhan semata menahan lapar dan haus di siang hari, sementara di malam hari mereka kembali ke dosa-dosa.
Banyak orang memasuki bulan Ramadhan bukan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan, melainkan untuk meningkatkan omset-omset maksiat. Dan banyak orang yang memasuki bulan Ramadhan dengan semangat di awal-awal saja, namun di akhirnya ia malah sibuk dengan permainan-permainan. Padahal di akhir-akhir Ramadhan, Rasulullah صلى الله عليه وسلم beri’tikaf dan memburu malam lailatul qadar.
Bahkan yang sangat menyedihkan adalah bahwa banyak orang yang hanya semangat beribadah di bulan Ramadhan saja, bagitu Ramadhan pergi, semua ibadah itu lenyap seketika dari permukaan. Masjid-masjid yang tadinya ramai dengan shalat malam dan shalat berjamaah, setelah Ramadhan berlalu, kembali kosong dan sepi.
Saudaraku Kaum Muslimin wal muslimat rahimakumullah…
Tidak ada ajaran bahwa kita wajib mentaati Allah dan rasulNya hanya di bulan Ramadhan saja, namun setelah itu kita kembali berbuat dosa. Ramadhan sebagai titik tolak kembali ke fitrah sejati. Bahwa dari Ramadhan kita bangun tekad ketaatan seumur hidup seperti ketaatan selama Ramadhan. Dalam surah An Nahl: 92, Allah berfirman:
Ini sebuah pelajaran yang berharga. Allah menyampaikan kisah seorang wanita yang hidupnya sia-sia. Dari pagi sampai sore ia memintal benang. Sore hari ketika pintalan itu selesai, ia cerai-beraikan kembali. Perhatikan! Allah melarang agar akhlak wanita tersebut tidak terulang kembali. Bahwa perbuatan sia-sia adalah kerugian yang nyata.
Karena itu Nabi صلى الله عليه وسلم selalu mengingatkan agar kita selalu istiqomah. Ketika salah seorang sahabatnya minta nasihat yang bisa dijadikan pegangan seumur hidupnya, Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab: qul aamantu billahi tsummastaqim (katakan aku beriman kepada Allah dan beristiqamahlah).
Demikianlah, setiap tahun kita menjalani ibadah Ramadhan dengan penuh semangat siang dan malam, siangnya kita berpuasa, malamnya kita tegakkan shalat malam, tetapi benarkah nuansa ketaatan itu akan terus bertahan seumur hidup kita? Atau ternyata itu hanya untuk Ramadhan saja?
Berapa banyak orang Islam yang selama Ramadhan rajin ke masjid, tetapi begitu Ramadhan habis, seakan tidak kenal masjid lagi. Berapa banyak orang Islam yang selama Ramadhan rajin membaca Al Qur’an, tetapi begitu Ramadhan selesai, Al Qur’an dilupakan begitu saja.
Mirip dengan kisah wanita yang Allah ceritakan di atas. Selama Ramadhan ketaatan dirangkai, begitu Ramadhan habis, semua ketaatan yang indah itu dicerai beraikan kembali. Padahal yang seharusnya adalah tidak demikian, karena bulan Ramadhan diibaratkan sebagai sebuah madrasah, selama sebulan penuh kita ditempa dengan latihan-latihan oleh bulan ramadhan, maka hendaknya begitu ramadhan berlalu, hasil pendidikan ramadhan itu akan tetap membekas dalam sikap dan tingkah laku kita untuk sebelas bulan kedepannya.
Selama Ramadhan kita menjalankan sholat-sholat sunnah begitu rajinnya, sholat tarawih kita kerjakan walaupun rakaatnya banyak, dan stelah ramadhan hendaknya kita juga tetap gemar untuk melaksanakan sholat-sholat sunnah, puasa sunnah, bershodaqoh, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya.
Hadirin wal Hadirat yang berbahagia
Ibadah Puasa juga mengajarkan kepada kita tentang pentingnya keikhlasan, yakni beribadah semata-mata karena Allah dan mengharap ridho Allah Swt.
Namun harus kita ketahui bahwa seikhlas-ikhlasnya dalam setiap amal, kita tidak boleh sedikitpun merasa aman dari penyakit riya’. Di sinilah peran kesabaran dalam ketaatan menjalankan perintah Allah SWT. Kesabaran adalah proses puncak menuju maqam mukhlisin.
Puasa mengajarkan kita tentang bagaimana sebuah amal yang kita kerjakan hanya diketahui oleh Allah SWT. Keadaan kita berpuasa atau tidak berpuasa menjadi rahasia antara kita dengan Allah semata. Inilah hikmah penting ibadah puasa kita. Melalui puasa sebulan penuh Allah mengajarkan kita untuk belajar meluruskan niat beramal agar tak tersusupi oleh sifat riya’, ‘ujub dan sum’ah. Riya’ menjadi penyebab rusaknya amal seseorang hingga tidak bernilai sama sekali di sisi Allah SWT.
Bahkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyampaikan kekhawatirannya di depan para sahabat utamanya, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil" maka para sahabat bertanya: "apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?". Beliaupun bersabda: "Syirik kecil itu adalah riya". Pada hari kiamat ketika manusia dibalas dengan amal perbuatannya, maka Allah akan berkata kepada orang-orang yang berbuat riya’: "pergilah kalian kepada apa-apa yang kalian berbuat riya’, maka lihatlah apakah kalian mendapat balasan dari mereka”. (HR. Ahmad).
Penyakit riya’ ini amatlah berbahaya karena ia menjangkiti seseorang bukan dalam keadaan seseorang bermaksiat tetapi justru ketika seseorang beramal shalih. Selain itu bila seorang yang beriman dalam amal shalihnya ternodai oleh sifat riya’, berarti terdapat dalam dirinya satu bagian dari sifat-sifat kaum munafiqun.
Allah SWT berfirman:
Puasa adalah ibadah sirriyyah (tersembunyi) antara hamba dengan Khaliqnya. Di sinilah kita diajarkan untuk mengalahkan sifat riya’. Berbeda dengan shalat yang dapat terlihat dari gerakannya, zakat yang nampak dari pemberiannya, dan haji yang nampak dari manasiknya. Perbaikilah selalu niat kita dalam beramal, landasilah dengan keikhlasan. Bila terbersit riya’ di dalam hati maka lawanlah dan jangan menunda amal, karena yakinlah itu adalah godaan syaithan yang meniupkan was-was di dalam hati kita. Pandanglah kecil amal kita dan jangan terjerumus pada kebanggaan terhadap amal.
Firman Allah SWT:
Hadirin wal hadirat Jamaah ‘iedul fitri rahimakumullaah,
Ibadah puasa yang sudah kita laksanakan sebulan kemarin juga memberikan pelajaran untuk mengendalian diri kita dan mengalahkan sifat menuruti hawa nafsu. Selama Ramadhan kita telah berhasil mengendalikan nafsu dari maksiat. Itu menunjukkan bahwa nafsu sebenarnya sangat lemah. Bahwa manusia bukan makhluk yang dikendalikan nafsu, melainkan dialah yang mengendalikan nafsunya. Berbeda dengan binatang, yang memang tidak punya akal fikiran, manusia adalah makhluk yang harus mengatur gejolak nafsunya.
Bulan Ramadhan yang telah berlalu telah memberikan latihan berharga terhadap seluruh unsur dalam diri kita. Unsur akal, jasad, ruh, hati dan harta kita telah kita arahkan menuju kemaslahatan bagi diri kita dan orang lain. Ramadhan telah memberikan banyak ajaran berupa batasan dan rambu-rambu bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Di sinilah peran kesabaran kita dalam menahan diri dari perbuatan melanggar larangan Allah. Bagi orang yang berpuasa maka tantangan terberat yang dihadapi adalah dorongan untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya.
Namun, karena ketabahan dan kesungguhan kita dalam menjalankan ibadah puasa maka kita dapat mengendalikan keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Kegigihan kita dalam menahan pandangan mata dari perkara-perkara yang diharamkan, keseriusan kita dalam menjaga lisan dari perkataan-perkataan buruk, kehati-hatian kita dalam menghindarkan perut kita dari masuknya makanan-makanan syubhat dan haram.
Kesungguhan kita membersihkan pikiran dan hati dari prasangka buruk, sifat iri, dengki, dendam, amarah dan kesombongan, ketaatan dalam menjaga k3maluan kita dari hal-hal yang diharamkan, tidak mengumpulkan dan membelanjakan harta pada perkara-perkara yang dilarang oleh agama, mengendalikan tangan dan kaki kita agar tidak menyentuh atau melangkah ke tempat-tempat yang mengandung maksiat, serta menutup pendengaran kita dari ghibah/ menggunjing dan perkataan-perkataan jelek dan mengandung cela.
Maka ketika semua itu dapat kita kendalikan, barulah kita bisa merasakan manisnya iman. Inilah yang menjadi sebab datangnya hidayah dan taufik Allah SWT kepada kita. Amalan ibadah puasa kita telah membuat hawa nafsu kita lebih stabil dan terkendali. Kita berharap semoga semua anggota tubuh yang telah kita kendalikan itu akan menjadi saksi yang akan membela kita di hadapan pengadilan Qadhi Rabbul Jalil.
Ingatlah firman Allah SWT:
Hadirin wal Hadirat yang berbahagia,
Inilah sebagian kecil dari hikmah puasa di bulan ramadhan yang kita jalankan dengan sebuah harapan semoga Allah memberi kemudahan untuk kita mempertahankannya di hari-hari selanjutnya. Sebuah hikmah yang akan senantiasa menyuplai energi amal bagi hadirnya cinta dan harmoni antara miskin dan kaya, atasan dan bawahan, orang tua dan anak, suami dan istri dan di antara seluruh masyarakat dan umat ini.
Kini kita telah kembali fithrah, jangan nodai ke-fithrah-an ini hingga membuat kemenangan idul fithri ini menjadi sia-sia. Kita senantiasa berlindung kepada Allah dan memohon ampun kepadanya atas segala dosa dan kekhilafan yang kita lakukan.
Semoga ibadah puasa dan amal-amal kita yang lain di terima oleh Allah Swt, dan semoga kita tetap terus mempertahankan fitrah dan ketaqwaan kepada Allah untuk 11 bulan kedepan sehingga hidup kita akan berkah, sebagaimana firman Allah pada surah al-A’raf : 96
Akhirnya, saya mengucapkan SELAMAT HARI RAYA ‘IDUL FITRI 1436 H, MINAL ‘AIDIN WAL FAIZIN, MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN.
Posting Komentar untuk "Khutbah Idul Fitri Tahun 1436 H"
Saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan artikel di atas.