Kisah Perjuangan Sulthan Thaha Pahlawan Dari Tanah Jambi

Sulthan Thaha Syaifuddin merupakan salah satu pahlawan Nasional yang berasal dari Jambi. Nama kecil beliau adalah Thahaningrat yang dilahirkan pada tahun 1816. Sulthan Thaha dinobatkan sebagai Sultan Jambi dalam usia 39 tahun. Beliau menggantikan kedudukan ayahnya yang bernama Sultan Fahruddin.

Setelah dinobatkan sebagai Sultan Jambi, Sulthan Thaha membatalkan seluruh perjanjian-perjanjian yang pernah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya dengan kolonial Belanda.

sultan thaha jambi
Perlu diketahui bahwa pada tahun 1616, Sultan Abdul Kahar pernah mengizinkan Belanda untuk mendirikan Kantor Dagangnya di daerah Muara Kumpeh, di tepian sungai Batanghari. Izin pendirian kantor dagang ini kemudian dibatalkan oleh pengganti Sultan Abdul Kahar, yakni Sultan Sri Ingalogo. Bahkan Sultan Sri Ingalogo memerintahkan prajuritnya untuk membunuh kepala Perwakilan Belanda di Jambi, yang bernama Sybrandt Swart.

Akibat perbuatannya itu, Sultan Sri Ingalogo ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Ambon. Namun tindakan Belanda ini justru semakin mempertebal rasa permusuhan terhadap Belanda dibawah kepemimpinan Sultan berikutnya, yakni Sultan Istra Ingalogo.

Bahkan Sultan Istra berhasil mengusir orang-orang Belanda dari Jambi dan menutup kantor perwakilan mereka di Jambi. Ketika kerajaan Jambi dibawah kepeminpinan Sultan Fahruddin (ayah Sultan Thaha), ketegangan dengan Belanda sedikit mereda.

MASA PEMERINTAHAN SULTHAN THAHA SYAIFUDDIN

Pada masa pemerintahan Sulthan Thaha Syaifuddin, beliau sangat tidak menyukai kolonial Belanda. Belanda tidak mendapatkan tempat dalam hati Sultan Thaha, sebab kedatangan Belanda ke Jambi bukan hanya untuk berdagang, melainkan untuk menjajah.

Oleh karena itu, Sulthan Thaha tidak mengakui dan membatalkan perjanjian antara kerajaan Jambi dengan sultan-sultan sebelumnya. Selain membatalkan perjanjian tersebut, Sultan Thaha juga menegaskan bahwa beliau tidak akan membuat perjanjian dalam bentuk apapun dengan pihak Belanda.

Sikap Sultan Thaha ini tentu saja mengejutkan pemerintahan kolonial Belanda. Belanda segera mengirimkan utusan yakni Residen Palembang yang bernama Couperts dan asistennya ke Jambi untuk meminta penjelasan dan mengadakan perjanjian baru, tetapi usaha ini gagal.

Belanda sangat khawatir dengan sikap tegas Sultan Thaha ini, apalagi beredar berita bahwa Sultan Thaha sedang berusaha mendatangkan bantuan dari turki.

Beberapa hari kemudian, Belanda mengirimkan utusan dengan membawa teks perjanjian baru yang mereka konsep dan tetapkan sendiri dan memaksa Sultan thaha untuk menandatangani perjanjian tersebut. Sultan Thaha diberikan waktu 2x24 jam untuk menandatanganinya.

Bersamaan dengan pengiriman teks perjanjian tersebut, ternyata Belanda juga mengirimkan pasukan ke Muara kumpeh di bawah pimpinan Mayor Van Lange. Belanda tidak peduli lagi dengan konsep perjanjian yang sudah dibuatnya.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Pertempuaran sengit antara pasukan belanda dengan pasukan Sultan Thaha tidak dapat dielakkan. Tentu saja pertempuran yang tidak seimbang baik dari segi jumlah pasukan sampai jumlah persenjataan.

Sultan Thaha memerintahkan untuk mengosongkan Istana Tanah Pilih. Sultan dan keluarganya menyingkir ke Muara Tembesi dan kepemimpinan di Tanah pilih diambil alih oleh Raden Mat Taher. Dalam pertempuran itu, tiga orang panglima perang Jambi gugur.

Di Muara Tembesi, Sultan Thaha kembali menyusun kekuatan. Sikap beliau masih sama, yakni tidak sudi membuat perjanjian dengan Belanda walaupun beliau sendiri dalam kondisi terancam. Beliau berkeyakinan jika melakukan perundingan dan perjanjian dengan Belanda, beliau akan kehilangan amalnya empat puluh hari.

Di Tanah Pilih, Belanda berusaha mengangkat sultan alternatif untuk menggantikan Sultan Thaha dalam upaya memecah-belah kekuatan di Jambi. Belanda mendekati keluarga sultan Thaha agar mau menjadi sultan bentukan Belanda.

Awalnya Belanda mendekati dan membujuk Pangeran Ratu (putra mahkota) namun tidak berhasil sebab Pangeran Ratu tegas menolak. Kemudian Belanda mendekati dan membujuk Paman Sultan Thaha yang bernama Panembahan Prabu dan berhasil.

Pada tanggal 2 Nopember 1859, Panembahan Prabu dinobatkan belanda sebagai Sultan Jambi dengan gelar Ratu Ahmad Nazaruddin. Belanda memaksa Sultan Ratu Hamda Nazaruddin untuk menandatangai perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah :

1. Kesultanan Jambi termasuk bagian jajahan Belanda.
2. Negeri Jambi adalah pinjaman dari Belanda yang harus tunduk dan setia kepada pemerintahan Hindia Belanda.
3. Bea Cukai yang masuk menjadi hak pemerintah Hindia Belanda.
4. Batas negeri Jambi akan ditetapkan oleh Belanda.

Sultan Thaha tidak mengakui kesultanan bentukan Belanda ini dan tidak mengakui isi perjanjian tersebut. Sikap Sultan Thaha ini didukung oleh rakyat Jambi dan mereka masih tetap mengakui Sultan Taha sebagai pemimpin kesultanan Jambi.

Sultan Thaha terus melakukan perlawanan kepada kolonial Belanda baik terang-terangan maupun secar gerilya. Sultan Thaha dibantu oleh Pangeran Tumenggung Mangkunegara dari Bangka dan membentuk pasukan Sabilillah. Pasukan ini dilatih oleh ahli-ahli perang dari Aceh.

Sultan Thaha membagi wilayah komando menjadi dua. Daerah komando 1 yang meliputi Muara Tembesi sampai Padang dipimpin oleh Sultan Thaha sendiri dengan dibantu oleh saudaranya Pangeran Dipanegara. Daerah komando 2 yang meliputi wilayah muara Tembesi sampai Kerinci dipimpin oleh Tumenggung Mangkunegara dengan panglimanya haji Umar bin Pangeran M. Yasir.

Pada tahun 1818, Sultan Ratu Ahmad Nazaruddin meninggal dunia. Ia digantikan oleh Pangeran Ratu Martadiningrat dengan gelar Sultan Mahiluddin yang juga boneka Belanda. Selama masa pemerintahannya serangan rakyat Jambi terhadap belanda terjadi dimana-mana.

Sultan Ratu Martadiningrat diberhentikan oleh Belanda kerana belanda menilai sultan ini tidak memiliki kekuatan apa-apa. Ratu Martadiningrat digantikan oleh Pangeran ratu dengan gelar Sultan Ahmad Zainuddin. Bersamaan dengan itu diangkat juga putra dari Sultan Thaha (yang tidak ikut ayahnya menyingkir ke Muara Tembesi sebab ketika itu ia baru berusia 3 tahun) sebagai putra mahkota.

Pada tanggal 6 Juli 1895, rakyat jambi melakukan serangan ke benteng Belanda dan berhasil merampas sejumlah senjata. Banyak yang tertembak tetapi raden Anom yang memimpin serangan itu berhasil lolos.

Pada tahun 1898 berkobarlah pertempuran di Tanjung Gagak. Pertempuran itu menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada tahun 1902, pertempuran berkecamuk lagi. Banyak serdadu Belanda yang tewas terkena jebakan oleh pasukan Sultan Thaha. Ketika itu rakyat mendirikan benteng di tempat yang dianggap strategis seperti di Tanjung, Lembur Maringin, Muara Tembesi (sekarang masih ada bentengnya) Limbur Tembesi, Sungai Manau, Sungai Alai dan Muara Siau.

Pada bulan April 1901, maskapai minyak milik Belanda di Bayung Lincir Palembang diserbu oleh pejuang rakyat. Bersamaan dengan itu, di daerah Sarolangun pejuang rakyat menyerang kontrolir Belanda. Perlawanan Sultan Thaha ini benar-benar menguras energi di pihak belanda.

Belanda terus memperkuat pasukannya. Mereka mendatangkan bantuan dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Namun kekuatan pasukan yang besar itu ternyata tidak mudah untuk menumpas perlawanan rakyat Jambi terutama di daerah pedalaman.

Pada tahun 1904, tentara Belanda menyerbu tempat persembunyian sultan Thaha di sungai Aro, namun sultan berhasil lolos. Sultan Thaha meninggal dunia pada tanggal 24 April 1904 di Muara Tebo dalam usia 88 tahun dan dikebumikan di Tebo.

Demikian semoga kisah singkat perjuangan Sulthan Thaha Syaifuddin, pahlawan dari Jambi ini bermanfaat dan semakin mempertebal rasa kecintaan kita kepada tanah air Indonesia.

Posting Komentar untuk "Kisah Perjuangan Sulthan Thaha Pahlawan Dari Tanah Jambi"