BAB II Makalah Tentang Wali Nikah

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENULISAN
Untuk BAB I silahkan baca : DISINI
A. Kajian Teoritis

1. Wali dalam Pernikahan

a. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah

Berkaitan dengan wali, wali ada yang bersifat umum dan ada yang khusus. Kewalian umum adalah mengenai orang banyak dalam satu wilayah atau negara, sedangkan yang khusus ialah berkenaan dengan manusia dan harta benda[1]. Di sini yang dibicarakan adalah wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam perkawinan.

Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri[2].

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah jilid 7 menyebutkan bahwa wali nikah adalah suatu yang harus ada menurut syara’ yang bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa[3].

Menurut Sudarsono, wali adalah orang atau pihak yang memberikan izin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan[4].

Di dalam KHI pasal 1 huruf (h) disebutkan, Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.[5]

Dari beberapa pengertian wali di atas dapat kita ketahui bahwa wali yang dimaksud di sini adalah orang yang mengasuh orang yang berada di bawah asuhan atau kekuasaannya dan wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak perempuan sebab tidak sah seorang perempuan yang  menikah tanpa adanya wali. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata : “Semua pernikahan tanpa wali adalah batil (tidak sah)[6] berdasarkan hadits Nabi SAW,

ﺃيما امرﺃة نكحت بغير ﺇذن وليها فنكاحها با طل
“Siapa saja di antara wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil”.

Berbeda dengan pandangan Imam Hanafi, Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya dengan syarat orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.[7]

Adapun dasar hukum keharusan adanya wali dalam pernikahan bagi mempelai wanita adalah :

1. Al-Qur’an surah an-Nur : 32

“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.[8]

2. Al-Qur’an surah al-Baqarah : 221

“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.[9]

3. Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah. Ra.

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فان دخل بها فلها المهر بها استحل من فرجها فان استجروا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا. ( رواه احمد و ابو داود و ابن ما جه و الترمذي)
“Dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang nikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal. Jika lelaki telah meny*tubuhinya, maka ia berhak atas maharnya karena ia telah menghalalkan kehormatannya. Jika pihak wali enggan menikahkan, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang tidak punya wali”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan ia menambahkan hadits ini hasan).[10]

4. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa

عَنْ اَبِى مُوْسَى رض اَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ. ( الخمسة الا النسائى)
Dari Abu Musa ra, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sah nikah tanpa wali”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu hibban dan Hakim dan disahkan oleh keduanya)[11]

Dengan melihat beberapa dasar hukum yang tersebut tadi dapat disimpulkan bahwa peranan wali dalam suatu pernikahan sangatlah penting karena akan menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

b. Pembagian Wali

Menurut KHI pasal 20 ayat 2 bahwa wali nikah itu terdiri dari wali nasab dan wali hakim.

a) Wali Nasab

Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali. Wali nasab terdiri atas wali mujbir dan wali syarikah (ikhtiyar). [12]

Pertama, Wali mujbir.

Wali mujbir adalah wali yang memiliki otoritas dalam pelaksanaan akad atas yang diwalikan, baik perempuan itu suka atau tidak. Dikatakan wali mujbir karena ia bersifat memaksa. Perwalian mujbir menurut pandangan Syafi’iyah hanya diberikan kepada wali asli si perempuan, yaitu hanya ayah atau kakek saja. Perwalian mujbir ini ditetapkan hanya bagi wanita perawan, wanita yang masih di bawah umur dan wanita yang memiliki keterbelakangan mental.

Kedua, Perwalian Syarikah.

Perwalian Syarikah adalah hak perwalian yang diperoleh setelah bermusyawarah terlebih dahulu dengan si perempuan dalam memilih calon suami. Maksudnya, wali tidak berhak penuh menikahkan perempuan dan perempuan tersebut juga tidak memiliki hak penuh atas pernikahannya melainkan setelah ada restu dari wali dan atas persetujuan perempuan tersebut. Hak perwalian syirkah diberikan kepada kerabat perempuan mulai dari urutan paling dekat.

Urutan wali nasab menurut Imam Syafi’i sebagai berikut :

1) Ayah kandung,
2) Kakek dari pihak ayah,
3) Saudara laki-laki sekandung,
4) Saudara laki-laki seayah,
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung,
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
7) Saudara laki-laki ayah (paman),
8) Anak laki-laki paman,
9) Hakim. [13]

Mengenai wali nasab juga diatur dalam KHI, yakni pada pasal 21 sebagai berikut :

Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.[14]

b) Wali Hakim

Wali hakim adalah penguasa atau sulthan atau pemerintah. Di negara Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidentil, maka penguasanya adalah presiden. Presiden melimpahkan wewenang kepada Menteri Agama dan Menteri Agama Memberikan wewenang kepada Kepala KUA untuk menjadi wali hakim.

Dalam pasal 1 ayat 2 PMA Nomor 30 Tahun 2005 dinyatakan bahwa Wali Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang  tidak mempunyai wali.[15] 

Kepala KUA yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim, apabila calon mempelai perempuan dalam kondisi :

1. Tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
2. Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya) Atau
3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
4. Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh perjalan yang membolehkan sholat sholat qasar yaitu 92,5 km) atau
5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai
6. Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk menikahkanya
7. Wali sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh.[16]

Dan dalam KHI juga disebutkan :

Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fikih Sunnah, wewenang wali berpindah ke tangan hakim apabila :

1. Ada pertentangan di antara wali-wali.
2. Bilamana walinya tidak ada dalam pengertian tidak ada yang absolut (mati, hilang) atau karena gaib.[17]

2. Keabsahan Anak

Sangat penting untuk mengetahui keabsahan seorang anak karena terkait dengan beberapa masalah hukum. Para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya. [18]

Penentuan nasab merupakan salah satu hak seorang anak yang terpenting dan merupakan sesuatu yang banyak memberikan dampak terhadap kepribadian dan masa depan anak. Seorang anak harus mengetahui tentang keturunanya, sebab asal usul yang menyangkut keturunan dan sangat penting untuk menempuh kehidupan dalam masyarakat.[19]

Oleh sebab itu penting untuk mengetahui keabsahan anak menurut fiqh, KHI, dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

a. Keabsahan Anak Menurut Fiqh

Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat di ketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Walaupun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus manjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain untuk permasalahan ini.

Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, dan biasanya disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal-usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.[20]

Seluruh madzhab fiqh baik sunni maupun syi’i sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Sebab surah al-Ahqaf ayat 15 menentukan bahwa masa kehamilan dan penyusuan anak adalah 30 bulan, yaitu :

“mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”

Menyapihnya adalah menghentikan masa penyusuan. Sedangkan surah Luqman ayat 14 menegaskan bahwa masa menyusui itu lamanya dua tahun penuh.

“dan menyapihnya dalam dua tahun”

Kalau waktu 30 bulan itu dikurangi dengan waktu dua tahun (24 bulan) maka yang tersisa adalah enam bulan, dan itulah masa minimal kehamilan. Ilmu kedokteran modern pun menguatkan pendapat ini dan ahli hukum Prancis juga mengambil pendapat serupa. [21]

Lebih lanjut disebutkan dalam Fiqih Lima Madzhab, bahwa ”Apabila seorang wanita dan laki-laki kawin, lalu melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya sebelum 6 bulan, maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya) dengan suaminya”.[22]

Syaikh Al-Mufid dan Syaikh Al-Thusi dari madzhab Imamiyah, dan Syaikh Muhyidin Abd Al-Hamid dari Hanafi mengatakan bahwa, nasib anak tersebut tergantung pada suami (wanita tersebut). Kalau dia mau, dia bisa menolaknya, dan bisa pula mengakuinya sebagai anaknya dan mengaitkan nasabnya dengan dirinya. Ketika suami mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka anak tersebut menjadi anaknya yang sah secara syar’i yang memiliki hak-hak sebagaimana mestinya anak yang sah, dan dia pun punya hak pula atas anak-anak seperti itu. [23]

Dalam madzhab Syafi’i ada dua pendapat mengenai status anak dari kawin hamil zina[24] .

Pendapat pertama bahwa nasab anak zina tetap kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya walaupun keduanya sudah menikah sebelum anak lahir. Ini pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi’i.

Pendapat kedua, status anak zina dalam kasus ini dinasabkan kepada ayah biologisnya apabila anak lahir di atas 6 bulan  setelah akad nikah antara kedua pezina. Dan tidak dinasabkan ke ayah biologisnya jika anak lahir kurang dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan ikrar pengakuan anak.

Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan menurut fiqih dengan berpedoman pada Al-qur’an, maka tidak bisa dihubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun lahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja.

Jika di analisis pandangan fiqih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah di pahami bahwa anak sah di mulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini harus lah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan[25].

Dengan demikian, hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus[26].

Hal ini sejalan dengan fatwa MUI Nomor 11 tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan terhadapnya yang menetapkan bahwa Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya[27].

b. Keabsahan Anak Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak dalam Pasal 42, 43 dan 44. Selengkapnya akan dikutip di bawah ini:[28]

Pasal 42:
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43:
(1) Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.” (walaupun ada sedikit penambahan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-IX Tahun 2011)
(2) Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44:
(1) Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan yang bersangkutan.

Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia kandungan seperti yang akan dijelaskan kemudian.

Jadi Selama bayi yang di kandung tadi lahir pada ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya.

c. Keabsahan Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan, sebagaimana tersebut dalam pasal 99, 100, 101, 102, dan 103.

Pasal 99 :
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.

Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(3) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima

Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.[29]

B. Kerangka Berfikir

Seorang anak pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan fitrah. Mereka tidak ikut menanggung kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dan di dalam Islam tidak dikenal adanya istilah dosa warisan.

Namun di mata hukum, kedudukan seorang anak dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu anak sah, anak tidak sah (anak yang lahir di luar perkawinan yang sah), anak sumbang (incest), anak angkat dan anak tiri. Anak sah memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat dan di mata hukum karena dia menyandang hak-hak yang diberikan oleh hukum seperti hak waris, hak sosial dan hak nasab kepada ayahnya.

Anak incest adalah anak yang terlahir dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang masih memiliki hubungan darah. Anak angkat sebagai anak adopsi yang diambil dari keturunan orang lain sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama. Terakhir adalah anak tiri, yaitu anak bawaan suami atau istri dari perkawinan dengan istri atau suaminya terdahulu.

Seorang anak tidak akan pernah terlepas dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya. Hubungan kekeluargaan ini dalam Islam dikenal dengan istilah nasab. Nasab merupakan suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah dan garis nasab ini terambil dari garis ayah.

Adapun kaitan nasab anak dengan perwaliannya ketika menikah, maka pada penulisan ini dipandang perlu untuk mengetahui kategori anak zina terkait dengan perbuatan orang tuanya, yang penulis kutip dari internet[30].

1. Status Anak Zina yang Lahir di Luar Nikah.

Status anak hasil zina yang lahir tanpa ada ikatan pernikahan sama sekali antara ibunya dengan pria manapun, maka ada dua pendapat ulama.

Pendapat pertama adalah anak tersebut dinasabkan pada ibunya walaupun seandainya ayah biologisnya mengklaim (Arab, ilhaq atau istilhaq) bahwa ia adalah anaknya. Ini pendapat mayoritas ulama antar-madzhab yaitu madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan sebagian madzhab Hanafi sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.

Pendapat ini berdasarkan pada hadits sahih dari Amr bin Syu’aib sebagai berikut:

قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِي يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ
“Nabi memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya walaupun ayah biologisnya mengklaim dia anak biologisnya. Ia tetaplah anak zina baik dari perempuan budak atau wanita merdeka”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah)

Pendapat kedua adalah bahwa anak zina tersebut dinasabkan pada ayah biologisnya walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu biologisnya. Ini adalah pendapat dari Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Nakha’i, dan Ishaq. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali apabila ada klaim atau pengakuan (istilhaq) dari bapak biologis anak sebagai mana yang disebutkan oleh Ibnu Muflih dalam Al-Furu’.

Disebutkan dalam al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Urwah bin Zubair dan Sulaiman bin Yasar pernah berkata bahwa “Seorang pria yang datang pada seorang anak dan mengklaim bahwa anak itu adalah anaknya dan mengaku pernah berzina dengan ibunya dan tidak ada laki-laki lain yang mengakui, maka anak itu adalah anaknya.

2. Status Anak dari Kawin Hamil Zina yang Ibunya Menikah dengan Ayah Biologisnya.

 Bagi wanita pezina yang kawin saat hamil dengan lelaki yang menghamili maka status anak tersebut sah menjadi anak dari bapak biologisnya apabila si bapak mengakuinya. Hal ini berdasarkan pada keputusan yang diambil oleh Umar bin Khattab di mana beliau menasabkan anak-anak jahiliyah (pra Islam) pada mereka yang mau mengakui sebagai anaknya setelah Islam (berdasarkan riwayat Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro).

Sahabat Ibnu Abbas juga pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan perempuan kemudian menikahinya. Ibnu Abbas menjawab: “Awalnya berzina. Akhirnya menikah itu tidak apa-apa.”( As-Sunan al-Kubro )

Dari kalangan empat madzhab, Imam Abu Hanifah yang paling sharih (eksplisit) menegaskan sahnya status anak zina dinasabkan pada bapak biologisnya apabila kedua pezina itu menikah sebelum anak lahir. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengutip pandangan Abu Hanifah demikian:

لا أرى بأسا إذا زنى الرجل بالمرأة فحملت منه أن يتزوجها مع حملها, ويستر عليها, والولد ولد له
“Saya tidak melihat ada yang salah jika seorang lelaki yang berzina dengan perempuan dan hamil, maka boleh menikahi perempuan itu saat hamil. Sedangkan status anak adalah anaknya”

Dalam madzhab Syafi’i ada dua pendapat. Pendapat pertama bahwa nasab anak zina tetap kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya walaupun keduanya sudah menikah sebelum anak lahir. Ini pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi’i.

Pendapat kedua, status anak zina dalam kasus ini dinasabkan kepada ayah biologisnya apabila anak lahir di atas 6 bulan setelah akad nikah antara kedua pezina. Dan tidak dinasabkan ke ayah biologisnya jika anak lahir kurang dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan ikrar pengakuan anak.

Adapun menurut madzhab Hanbali dan Maliki, maka haram hukumnya menikahi wanita hamil zina kecuali setelah melahirkan. Dan karena itu, kalau terjadi pernikahan dengan wanita hamil zina, maka nikahnya tidak sah. Dan status anaknya tetap anak zina dan nasabnya hanya kepada ibunya.

3. Status Anak dari Kawin Hamil Zina yang Ibunya Menikah dengan Lelaki Lain Bukan Ayah Biologisnya

Seorang wanita melakukan zina dengan seorang pria dan hamil. Kemudian dia menikah dengan pria lain bukan yang menzinahinya. Hukum pernikahannya adalah sah menurut madzhab Hanafi, Ats-Tsauri dan pendapat yang sahih dalam madzhab Syafi’i. Walaupun terjadi perbedaan tentang apakah boleh hubungan intim sebelum melahirkan atau tidak. Sedang menurut madzhab Maliki dan Hanbali mutlak tidak boleh karena wajib melakukan istibra’ (penyucian rahim). Ia baru boleh dinikahi setelah melahirkan.

Adapun status anak dalam kasus ini maka menurut pandangan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali dalam kasus ini adalah bahwa anak yang terlahir dari hamil zina yang ibunya menikah saat hamil dengan lelaki bukan yang menghamili, maka status anak dinasabkan pada ibunya secara mutlak. Bukan pada bapaknya. Begitu juga anak hanya mendapat hak waris dari ibunya. Sedang wali nikahnya apabila anak itu perempuan adalah wali hakim.

4. Status Anak Zina dari Hasil Hubungan Perempuan Bersuami dengan Lelaki Lain

Apabila seorang perempuan bersuami berselingkuh, dan melakukan hubungan zina dengan lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka status anaknya saat lahir adalah anak dari suaminya yang sah, bukan anak dari pria selingkuhannya. Bahkan, walaupun pria yang menzinahinya mengklaim (Arab, istilhaq) bahwa itu anaknya. Sebagai anak dari laki-laki yang menjadi suami sah ibunya, maka anak berhak atas segala hak nasab (kekerabatan) dan hak waris termasuk wali nikah apabila anak tersebut perempuan.

Ini adalah pendapat ijma’ (kesepakatan) para ulama dari keempat madzhab sebagaimana disebut dalam kitab At-Tamhid karya Ibn Abdil Bar :

“Ulama sepakat atas hal itu berdasarkan hadits Nabi di mana Rasulullah telah menjadikan setiap anak yang lahir atas firasy (istri) bagi seorang laki-laki maka dinasabkan pada suaminya dalam keadaan apapun, kecuali apabila suami yang sah tidak mengakui anak tersebut dengan cara li’an berdasar hukum li’an.

Ulama juga sepakat bahwa wanita merdeka menjadi istri yang sah dengan akad serta mungkinnya hubungan intim dan hamil. Apabila dimungkinan dari suatu akad nikah itu terjadinya hubungan intim dan kehamilan, maka anak yang lahir adalah bagi suami (sahibul firasy). Tidak bisa dinafikan darinya selamanya walaupun ada klaim dari pria lain. Juga tidak dengan cara apapun kecuali dengan li’an”.

Pandangan ini disepakati oleh madzhab Hanbali di mana Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan :

“Ulama sepakat bahwa apabila seorang anak lahir dari perempuan yang bersuami kemudian anak itu diakui oleh lelaki lain maka pengakuan itu tidak diakui. Perbedaan ulama hanya pada kasus di mana seorang anak lahir dari perempuan yang tidak menikah”.

Kesepakatan ulama atas kasus ini didasarkan pada sebuah hadits sahih riwayat Muslim yang menyatakan

الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak bagi suami yang sah, bukan pada lelaki yang menzinahi”.(HR. Muslim dalam “Kitab Radha”  Sahih Muslim, hadits no. 1458, 2/1080). [31]

Dari keterangan di atas mengenai kedudukan anak dapat diketahui perbedaan kedudukan anak berdasarkan asal atau perbuatan orang tuanya. Jika anak tersebut lahir tanpa ada pernikahan atau istilah lain anak luar nikah, maka nasabnya dihubungkan kepada ibu saja.

Jika seorang wanita berzina dan hamil, kemudian menikah dengan laki-laki yang menghamilinya, maka status anaknya saat lahir menurut Imam Hanafi adalah dinasabkan kepada ayah biologisnya, sedangkan menurut madzhab Syafi’ sebagaimana tertulis di atas ada dua pendapat.

Pendapat pertama bahwa nasab anak zina tetap kepada ibunya, pendapat kedua, jika anak tersebut lahir di atas enam bulan setelah pernikahan orang tuanya, maka dinasabkan kepada ayah biologisnya itu, namun jika kurang dari enam bulan maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya.

Berbeda lagi hukumnya jika ibu wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya (ayah biologis si wanita), pandangan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali dalam kasus ini adalah bahwa anak yang terlahir dari hamil zina yang ibunya menikah saat hamil dengan lelaki bukan yang menghamili, maka status anak dinasabkan pada ibunya secara mutlak. Bukan pada bapaknya.

Begitu juga anak hanya mendapat hak waris dari ibunya. Sedang wali nikahnya apabila anak itu perempuan adalah wali hakim. Dan jika ibu wanita tersebut melakukan perselingkuhan, maka status anaknya saat lahir adalah anak dari suaminya yang sah, bukan anak dari pria selingkuhannya.

Lalu bagaimana status anak tersebut berdasarkan KHI dan Undang-undang Perkawinan. Dalam prespektif Kompilasi Hukum Islam, pada Pasal 99 disebutkan bahwa anak sah adalah:

a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Definisi mengenai anak sah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 42 yang berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

C. Metodologi Penulisan

1. Sumber Data

Sumber data yang dipakai dalam penulisan ini ada dua, yaitu penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan maksud agar peneliti dapat menggali dan mengkaji secara mendalam data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan maksud sebagai temuan awal untuk kemudian dikaji sesuai dengan literatur yang ada.

a. Jenis Data

1) Data Primer
Data primer merupakan “…data yang diambil langsung dari sumbernya tanpa adanya perantara.”[32]

Data primer yang penulis maksud di sini adalah hasil wawancara dan observasi lapangan berdasarkan pengalaman penulis bekerja di KUA Kecamatan dalam memeriksa berkas catin dan penetapan wali atau keabsahan wali nasabnya dan dokumentasi berupa screenshot aplikasi SIMKAH yang dipakai di KUA Kecamatan.

2) Data sekunder

Data sekunder merupakan “…data yang diperoleh dari data yang sudah terdokumentasi.”

Dalam penulisan ini, data diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Peneliti menggunakan data ini sebagai data pendukung yang berhubungan dengan pelaksanaan yang dilakukan oleh KUA Kecamatan dalam penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.

Penulis mendapatkan data dari peraturan perundang-undangan termasuk KHI, buku, artikel, pendapat para ahli dan sumber lain yang dianggap relevan baik tercetak maupun dalam format elektronik seperti internet dan file pdf.

2. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, maka penulis akan menganalisis data dengan menggunakan metode sebagai berikut :

1. Induktif, yaitu cara berfikir dan menyusun data-data yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang bersifat umum.
2. Deduktif, yaitu berangkat dari cara berfikir yang sifatnya umum untuk mengambil suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
3. Komperatif, yaitu pembahasan membandingkan antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain, kemudian mengambil suatu kesimpulan dan solusi terbaik.

Dalam penulisan ini penulis akan mendeskripsikan tentang anak sah yang berkaitan dengan hubungan nasab sebagaimana yang terdapat dalam KHI, Undang-undang Perkawinan dan pendapat para ulama yang tertuang dalam kitab fikih kemudian bagaimana pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan setelah pernikahan orang tuanya dan menganalisis dasar hukum yang digunakan serta prakteknya pada Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk kemudian diambil kesimpulannya.

FootNote :
1. Sayyid Sabiq (1978) Fikih Sunnah, (Penj : Mahyuddin Syaf), Bandung : PT Alma’arif, Jilid. 7, hal. 7
2. Mughniyah, Muhammad Jawad (2005) Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah, (penerj: Masykur. Ab dkk) Jakarta : Penerbit Lentera, Cet. 5, hal. 345
3. Ibid.
4. Sudarsono (1994) Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta : Rineka Cipta, hal. 235
5. KHI (pdf)
6. Muhammad bin Idris asy-Stafi’i (2004) Ringkasan Kitab Al-Umm, (Penerj : Amiruddin), Jakarta : Pustaka Azzam, hal. 212
7. Mughniyah, Muhammad Jawad, Op. Cit.  hal. 345
8. Departemen Agama RI (2008) Al-Qur’an dan Terjemahnya, Ditjend Bimas Islam, Di Cetak oleh CV. Ferlia Citra Utama, hal. 494
9. Ibid, hal. 43
10. Sayyid Sabiq (1978) Fikih Sunnah, (Penj : Mahyuddin Syaf), Bandung : PT Alma’arif, Jilid. 7, hal. 10
11. Ibid. hal. 8
12. Abdul Wahhab Hawwas (2006) Kunikahi Engkau Secara Islami, Bandung : CV. Pustaka Setia, hal. 121
13. Mughniyah, Muhammad Jawad, Op. Cit  hal. 347
14. KHI (file PDF)
15. PMA No. 30 tahun 2005 (PDF)
16. Departeman Agama RI (2003) Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata, hal. 34
17. Sayyid Sabiq, Op. Cit. hal. 29
18. Berdasarkan fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, bahwa Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
19. Andi Syamsu Alam - M. Fauzan (2008) Hukum pengangkatan anak perspektif Islam, Jakarta: Pena Media, hal. 175.
20. Ibid.
21. Mughniyah, Muhammad Jawad, Op. Cit. hal. 385
22. Ibid. hal. 386
23. Ibid
24. http://www.fatihsyuhud.net/2013/03/status-anak-dari-perkawinan-hamil-zina/
25. Mustafa Rahman (2003) Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, hal. 45
26. Ibid. hal. 47
27. Fatwa MUI (PDF)
28. Ditjend Bimas Islam (2015) Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Jakarta : Kementerian Agama RI, hal. 33
29. KHI (file PDF)
30. http://www.fatihsyuhud.net/2013/03/status-anak-dari-perkawinan-hamil-zina/
31. Ibid
32. Hadi, Amirul dan Haryono, (1998) Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, hal. 125
33. Ibid...
34. Sutrisno Hadi (1989) Metode Research, Yogyakarta : Adi Offsed, hal. 39

Posting Komentar untuk "BAB II Makalah Tentang Wali Nikah"